Oleh: Alan Novandi
Hari
semakin sore, matahari pun bersiap terlelap dalam gelap. Kerumunan orang yang
lalu lalang seolah sibuk dengan urusan dan tujuan masing-masing. Aku pun masih
terpaku berdiri di pinggiran terminal, tempat biasa para sopir angkutan umum
menurunkan dan mencari penumpang baru. Semilir angina masih berhembus menemani
diriku dan segelintir orang yang juga menunggu bis tujuan masing-masing. Tampak
wajah lelah yang tergambar dari mereka, begitu pun aku.
Matahari mulai tak tampakkan
sinarnya, adzan magrib pun mulai terdengar, dan senja pun mulai tak sempurna
lagi. Para pengaamen jalanan masih menyanyikan lagunnya dan memainkan alat
musiknya. Walaupun gelap akan datang, suasana terminal di tengah kota ini tetap
tak berubah. Mungkin sama dengan sudut-sudut kota Jakarta lainnya.
Asap yang keluar dari knalpot
mobil-mobil angkutan yang terlihat tua dan lusuh turut melengkapi hiruk pikuk
terminal. Suara para kenek angkutan umum pun terus terdengar saling bersahutan,
seiring dengan keluar masuknya mobil-mobil angkutan umum di jalur-jalur
terminal yang ada. Sampah kertas dan botol-botol bekas minuman juga terlihat
berserakan, seolah melengkapi keramaian yang ada.
Aku pun masih tetap berdiri,
kerumunan orang yang mulai terlihat berhamburan memasuki bus tujuan
masing-masing. Para pengamen kecil pun mulai tak terlihat, mungkin mereka turut
dalam bus melanjutkan mencari uang, ataupun mungkin ada yang pulang untuk
istirahat setelah seharian berkutat di jalanan. Kini yang terlihat hanya para
penjual minuman dan warung-warung kecil yang bersiap membereskan dagangannya.
Dari kejauhan terlihat bus tujuanku
datang, saat mendekat akupun melambaikan tangan. Bus mulai berhenti dan aku
mulai menaiki bus lusuh dan tua itu. Di tengah gelapnya kota, aku pun
meninggalkan terminal, tempat yang aku tak tau kapan bisa sepi dari kerumunan
orang, para pedagang, dan pengamen jalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar